BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
World Health Organization (WHO) memperkirakan
585.000 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan, proses
kelahiran dan aborsi yang tidak aman. Di Indonesia, angka kematian maternal per
100.000 kelahiran hidup adalah 390 pada tahun 1992 dan 307 pada tahun 2002
(WHO, 2009). Menurut data-data rumah sakit pendidikan di sebagian wilayah
Indonesia, angka kematian maternal berkisar antara 51,6 sampai 206,3 per 10.000
persalinan. Angka kematian maternal di RS Pirngadi Medan per 10.000 persalinan
adalah 140,2 (1965-1969), 102 (1970-1974) dan 92,3 (1975-1979) (Mochtar, 1998).
Sepsis,
perdarahan dan preeklampsia-eklampsia masih menjadi tiga penyebab utama kematian
ibu hamil dan morbiditas obstetri (Benson, 1982). Menurut WHO (2004) secara
keseluruhan, preeklampsia dan eklampsia sangat bertanggung jawab terhadap
kurang lebih 14 % kematian maternal per tahun yaitu sekitar 50.000-75.000
kematian. Preeklampsia merupakan penyakit yang bisa mengakibatkan 17,6 %
kematian maternal di Amerika Serikat (Lim, 2009). Tahun 2005 Angka Kematian
Maternal (AKM) di Rumah Sakit seluruh Indonesia akibat preeklampsia dan
eklampsia sebesar 4,91 % (8.397 dari 170.725) (Desi Risthiana Wati, 2009).
Preeklampsia
terjadi sekitar 8 % dari seluruh populasi, insiden bervariasi sesuai dengan
lokasi geografis (Pernol, 1987). Di negara berkembang, insiden preeklampsia
dilaporkan hingga 4 – 18 % (Lim, 2009). Pada penelitian yang dilakukan di RSUD
Dr Pirngadi, Medan pada tanggal 1 Maret 2001-31 Januari 2002 didapatkan lebih
dari 100 kasus preeklampsia berat menurut Dina (2003) dalam Wati (2009).
Menurut
Sudhaberata (2000) dalam Istichomah (2004) preeklampsia juga dapat menyebabkan
resiko persalinan prematur 2,67 kali lebih besar, persalinan buatan 4,39 kali
lebih banyak dan mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk mendapatkan bayi
dengan berat bayi lahir rendah.
Preeklampsia
bisa menyebabkan kelahiran awal dan komplikasi fetus termasuk bayi prematur.
Preeklampsia sangat bertanggung jawab terhadap 15 % kelahiran prematur di
Amerika Serikat (Penoll, 1982). Melalui penelitian oleh Meis, dkk pada tahun
1995 – 1998 dalam menganalisis kelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu yang
dilakukan di NICHD maternal-fetal medicine Units Network, kelahiran
prematur yang diindikasikan 43%-nya disebabkan oleh preeklampsia (Cunningham,
2005). WHO pada tahun 1961 mengganti istilah bayi prematur dengan bayi berat
lahir rendah (BBLR) karena disadari tidak semua bayi dengan berat badan kurang
dari 2500 gram pada waktu lahir adalah bayi prematur (Mochtar, 1998). Berat
bayi lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir selamat dengan berat 2500 gram
atau lebih kecil pada saat lahir (Pernoll, 1982). Frekuensi berat bayi lahir
rendah di negara maju berkisar antara 3,6 - 10,8 % dan di negara berkembang
berkisar antara 10 – 43 %. Rasio antara negara maju dan negara berkembang
adalah 1: 4 (Mochtar, 1998).
Berat
bayi lahir rendah dan kelahiran prematur merupakan kontributor utama dalam
kematian bayi. Berat bayi lahir rendah dan kelahiran prematur semakin meningkat
selama dua dekade kecuali perawatan neonatal yang sangat baik, kelahiran ini
akan berlanjut menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi
(Fried, 2008).
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian pre eklampsia berat?
2.
Apa tanda gejala pre eklampsia berat?
3.
Bagaimana penatalaksanaan pre eklampsia
berat?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu pre eklampsia
berat.
2.
Untuk mengetahui tanda gejala pre
eklampsia berat.
3.
Untuk mengetahui penatalaksanaan pre
eklampsia berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Preeklampsia
adalah kelainan multisystem spesifik pada kehamilan yang ditandai oleh
timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan 20 minggu. Kelainan
ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria meningkat secara bermakna
atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ (termasuk gangguan pertumbuhan janin)
B. Etiologi
Penyebab pasti Preeklampsia masih
belum jelas. Hipotesa faktor-faktor etiologi Preeklampsia bisa diklasifikasikan
menjadi 4 kelompok, yaitu : genetic, imunologik, gizi dan infeksi serta infeksi
antara factor-faktor tersebut.
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal dengan “The disease of theory”
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal dengan “The disease of theory”
Adapun teori-teori itu anatar lain
1. Peran prostasiklin dan tromboksan S
Pada Preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI-2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama, hal ini dihubungkan dengan pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang tidak sempurna. Beberapa wanita dengan Preeklampsia mempunyai kompleks imun dalam serum. Beberapa study yang mendapati aktivasi komplemen dan system imun humoral pada Preeklampsia.
3. Peran faktor genetik / familial
Beberapa bukti yang mendukung factor genetik pada Preeklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
b. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia.
c. Kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia dan bukan ipar mereka.
d. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS).
1. Peran prostasiklin dan tromboksan S
Pada Preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI-2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama, hal ini dihubungkan dengan pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang tidak sempurna. Beberapa wanita dengan Preeklampsia mempunyai kompleks imun dalam serum. Beberapa study yang mendapati aktivasi komplemen dan system imun humoral pada Preeklampsia.
3. Peran faktor genetik / familial
Beberapa bukti yang mendukung factor genetik pada Preeklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
b. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia.
c. Kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia dan bukan ipar mereka.
d. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS).
Apa
yang menjadi penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit ini,
akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
1.
Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravitas, kehamilan ganda, hidramnion
dan mola hidatidosa.
2.
Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan.
3.
Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam
uterus.
4.
Sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
5.
Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.
Teori
yang dewasa ini banyak diterima sebagai penyebab preeklampsia adalah iskemia plasenta.
C. Faktor Predisposisi
1. Diabetes melitus
2. Mola hidatidosa
3. Kehamilan ganda
4. Hidrops fetalis
5. Umur di atas 35 tahun
6. Obesitas.
D. Gejala Klinis
Gejala
Preeklampsia adalah:
1.
Hipertensi
2.
Edema
3.
Proteinuria
4.
Gejala subjektif berupa sakit kepala, nyeri ulu hati dan gangguan penglihatan.
Dikatakan preeklampsia berat apabila
dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut: 2,3,4
1. Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr/24 jam atau
kualitatif +3 atau +4.
3. Oliguria ≤ 500 ml/24 jam
4. Nyeri kepala prontal atau
gangguan penglihatan
5. Nyeri epigastrium
6. Edema paru atau sianosis
7. Pertumbuhan janin intra uterine
yang terhambat (IUFGR)
8. HELLP Syndrome (H = Hemolysis, EL
= Elevated Liver Enzyme, LP = Low Platelet Counts).
E. Kriteria
Diagnosistik PEB:
- Peningkatan tekanan darah: tekanan darah sistolik > 160mmHg atau tekanan darah diastolik > 110mmHg dalam dua kali pengukuran dengan interval 6 jam pada wanita dalam keadaan istirahat
- Proteinuria: kadar protein dalam urin 24 jam >5g atau >3+ pada pemeriksaan urin menggunakan dipstick. Urin diperiksa dua kali secara terpisah dengan interval 4 jam
- Oliguria: jumlah urin 24 jam kurang dari 500mL
- Gangguan serebral atau pengelihatan
- Edema paru atau sianosis
- Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen
- Gangguan fungsi hati
- Trombositopenia
- Restriksi pertumbuhan intrauterin
- Perdarahan retina
Diagnosis
preeklampsia ditegakkan jika terdapat minimal hipertensi dan proteinuria.
Pemeriksaan Fisik:
·
Tekanan
darah harus diukur dalam setiap ANC
·
Tinggi
fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya retardasi
pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion
·
Edema
pada muka yang memberat
·
Peningkatan
berat badan lebih dari 0,5 kg per minggu atau peningkatan berat badan secara
tiba-tiba dalam 1-2 hari
Pemeriksaan Penunjang
Saat ini belum ada pemeriksaan
penyaring yang terpercaya dan efektif untuk preeklampsia. Dulu, kadar asam urat
digunakan sebagai indikator preeklampsia, namun ternyata tidak sensitif dan
spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar asam urat serum pada
wanita yang menderita hipertensi kronik menandakan peningkatan resiko terjadinya
preeklampsiasuperimpose.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total pada urin 24 jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau progresifitas penyakit.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total pada urin 24 jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau progresifitas penyakit.
Prognosis
Kematian ibu antara 9.8%-25.5%,
kematian bayi 42.2% -48.9%.
F. Komplikasi
- Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
- Hipofibrinogenemia
- Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati pada penderita pre-eklampsia.
- Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
- Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya apopleksia serebri.
- Edema paru
- Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
- Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
- Prematuritas
- Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi anuria atau gagal ginjal.
- DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah mencapai tahap eklampsia.
G. Perbedaan
Preeklampsia dengan penyakit hipertensi dalam kehamilan lainnya
Riwayat:
Adanya faktor resiko terjadinya
preeklampsia berat:
Faktor yang berhubungan dengan
kehamilan: kelainan kromosom, mola hidatidosa, hidrops fetalis, kehamilan
multipel, kelainan kongenital struktural, infeksi saluran kemih, inseminasi
buatan atau donasi oosit
Faktor dari ibu: usia > 35 tahun
atau < 20 tahun, orang kulit hitam, riwayat preeklampsia dalam keluarga,
nulipara, preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, diabetes pada kehamilan,
diabetes tipe I, obesitas, hipertensi kronik, penyakit ginjal, trombofilia,
stress
Faktor dari ayah: ayah pertama,
sebelumnya memiliki istri lain yang menderita preeklampsia dalam kehamilan
Pada ANC setelah usia kehamilan 20
minggu, ibu hamil harus ditanyakan mengenai adanya keluhan gangguan pengelihatan,
sakit kepala persisten, nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas, dan edema
yang meberat
H. Pencegahan
Beberapa
fakta dibawah ini dapat menggambarkan cara-cara pencegahan preeklampsia:
a. Istirahat tirah baring
Istirahat
tirah baring pada wanita hamil tidak mencegah preeklampsia ringan. Namun
istirahat baring dapat mencegah preeklampsia ringan menjadi preeklampsia berat.
b.
Diet rendah garam dan pemberian diuretik
Restriksi
garam pada kehamilan tidak mencegah terjadinya preeklampsia.
Pemberian
diuretik juga tidak dapat mencegah terjadinya preeklampsia, sekedar
menghilangkan udema dan penurunan tekanan darah.
c.
Suplementasi Magnesium
Defisiensi
magnesium pada diet oleh beberapa peneliti mempunyai asosiasi terhadap
pathogenesis preeclampsia, pertumbuhan janin terlambat dan persalinan preterm.
Namun demikian peranan magnesium dalam pencegahan terjadinya preeklampsia masih
kontroversi.
d.
Defisiensi Zinc
Beberapa
peneliti telah melaporkan bahwa defisiensi zinc mempunyai hubungan dengan pathogenesis
preeclampsia. Hal ini terbukti bahwa pada preeklampsia kadar zinc dalam plasma,
leukosit, dan plasenta menurun. Penelitian pemberian zinc pada masyarakat
Meksiko-Amerika ternyata terjadi penurunan resiko preeklampsia. Tetapi
penelitan pemberian zinc pada wanita hamil di Inggris ternyata tidak memberikan
efek penurunan insidens preeklampsia.
e.
Suplementasi Minyak Ikan
Telah
dilakukan penelitian pemberian minyak ikan pada wanita hamil yang secara
teoritis dapat memungkinkan terjadinya insidens preeklampsia. Minyak ikan ini
mengandung asam lemak tidak jenuh yang berpengaruh terhadap metabolisme
prostaglandin sehingga tidak terbentuk thromboxane A2, tetapi terbentuk
thromboxane A3 yang merupakan vasokonstriktor lemah.
f. Suplementasi Kalsium
Pada preeklampsia
terjadi penurunan eskrisi kalsium dalam urine. Namun terjadi hal yang
sebaliknya bila terjadi defisiensi kalsium maka resiko terjadinya preeklampsia
lebih besar. Dosis kalsium diberikan bervariasi dari 375 mg, 1500 mg atau 2000
mg. Masih diperlukan penelitian besar.
g.
Pemberian Aspirin Dosis Rendah
Beberapa
peneliti telah melaporakan bahwa pemberian anti thrombotik berupa Aspirin dosis
rendah, dapat menurunkan insidens preeklampsia dan pertumbuhan janin terlambat.
Dosis yang diberikan berkisar antara 50 mg – 150 mg/hari. Hasil penelitian dari
beberapa center menggambarkan hasil yang kontroversi. Penelitian uji klinik
terbesar yang dikerjakan oleh The Collaborative Low-Dose Aspirin Study in
Pregnancy (CLAPS-1994), melibatkan 9364 wanita hamil dari beberapa
negara, dengan dosis Aspirin 60 mg/hari dibandingkan dengan placebo, secara
acak, tersamar ganda. Hasil uji klinik ini membuktikan tidak ada perbedaan
bahwa antara pemberian aspirin dan pemberian placebo setelah terjadinya
preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat dan penyulit ibu yang lain (misal:
solusio plasenta).
h. Pemberian Antioksidant
Vitamin
C, vitamin E, β-carotine, CoQ10 , N-Acetylcysteine
I.
Penatalaksanaan
Dapat ditangani
secara aktif atau konservatif.
Aktif berarti :
kehamilan diakhiri / diterminasi bersama dengan pengobatan medisinal.
Konservatif
berarti : kehamilan dipertahankan bersama dengan pengobatan medisinal.
1.
Penanganan aktif.
Penderita ditangani aktif bila ada
satu atau lebih kriteria ini :
-
ada tanda-tanda impending eklampsia
-
ada HELLP syndrome
-
ada kegagalan penanganan konservatif
-
ada tanda-tanda gawat janin atau IUGR
-
usia kehamilan 34 minggu atau lebih
Pengobatan
medisinal : diberikan obat anti kejang MgSO4, Cara pemberian MgSO4 : dosis awal
4 gram intravena diberikan dalam 10 menit, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan sebanyak 1 gram per jam
Syarat pemberian MgSO4/Sulfas Magnesikus :
-
frekuensi napas lebih dari 16 kali permenit
-
tidak ada tanda-tanda gawat napas
-
diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya
-
refleks patella positif.
MgSO4 dihentikan bila :
-
ada tanda-tanda intoksikasi
-
atau setelah 24 jam pasca persalinan
-
atau bila baru 6 jam pasca persalinan sudah terdapat perbaikan yang nyata.
Siapkan
antidotum MgSO4 yaitu Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NaCl 0.9%, diberikan
intravena dalam 3 menit).
Obat
anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau
tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Obat yang dipakai umumnya
nifedipin dengan dosis 3-4 kali 10 mg oral. Bila dalam 2 jam belum turun dapat
diberi tambahan 10 mg lagi.
Terminasi kehamilan : bila penderita belum in partu,
dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter Folley,
atau prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila syarat induksi tidak
terpenuhi atau ada kontraindikasi partus pervaginam. Pada persalinan pervaginam
kala 2, bila perlu dibantu ekstraksi vakum atau cunam.
2. Penanganan konservatif
Pada
kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia
dengan keadaan janin baik, dilakukan penanganan konservatif.
Medisinal
: sama dengan pada penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda pre-eklampsia ringan, selambatnya dalam waktu 24 jam. Bila sesudah
24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan dan harus segera dilakukan terminasi.
Tujuan penanganan
Tujuan penanganan preeklampsia berat yakni:
Tujuan penanganan preeklampsia berat yakni:
(1)
Mencegah kejang
(2)
Menjaga tekanan
darah ibu
(3)
Menginisiasi kelahiran.
Pencegahan kejang
Magnesium sulphate sebaiknya dipertimbangkan pada wanita dengan pre-eklampsia yang memiliki risiko eklampsia, Magnesium sulphate selalu diberikan kepada wanita dengan pre-eklampsia berat ketika keputusan untuk melahirkan bayi diambil, dan pada periode postpartum yang segera, sedangkan pada kasus dengan pre-eklampsia yang kurang parah, keputusan untuk diberikan magnesium sulphate menjadi kurang jelas dan bergantung kepada kasus yang dihadapi masing-masing. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan: (1) Larutan larutan Sulfas magnesikus 40% sebanyak 10 ml (4 gram) sebagai loading dose, disuntikkan intramuscular sebagai dosis permulaan dan dengan Lanjutan diberikan 1gram/jam setelah 24 jam kejang terakhir.
Pada kasus kejang berulang dapat ditatalaksana dengan pemberian dari salah satu metode yakni: pemberian bolus 2 gram magnesium sulphate atau meningkatkan rata-rata infuse menjadi 1,5 gram atau 2.0 gram/jam.
Menurut penelitian MAGPIE menunjukkan pemberian magnesium sulfate terhadap wanita dengan pre-eclampsia menurunkan resiko terjadinya kejang eklamptik. Wanita yang diberikan magnesium sulphat memiiki resiko kejang eklamptik 58% lebih kecil (95% CL 40 – 71%).
Magnesium sulphate adalah terapi pilihan, sedangkan diazepam dan phenytoin sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Pemberian secara intravena memili resiko efek samping yang lebih kecil.
Magnesium sulphate diekresikan melalui urine, sehingga sebaiknya bila dilakukan observasi urine dan jika terjadi penurunan di bawah 20 ml/jam, infuse magnesium sebaiknya dihentikan.
Kecendrungan toksisitas magnesium dapat diperiksa secara klinis yakni terjadi hilangnya refleks tendon dalam dan depresi pernapasan.
Pengontrolan tekanan darah
Pemberian antihipertensi sebaiknya dimulai pada wanita dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah diastlik lebih dari 110 mmHg.
Pemberian Labetalol secara oral atau intravena, nifedipine secara oral atau intravena hydralazine dapat diunakan untuk penatalaksaan akut dari hipertensi berat.
Terdapat consensus bersama bila tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg, membutuhkan penanganan tehadap tekanan darah ibu. Obat terpilih yang digunakan Labetalol, nifedipine, atau hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan dapat diberikan awal lewat mulut pada kasus hipertensi berat dan kemudian,jika diperlukan, bisa secara intavena.
Terdapat konsesus, bila tekanan darah dibawah 160/100, tidak dibutuhkan secara mendesak pemberian terapi antihipertensi. Terdapat perkecualian, bila ditemukan indikasi untuk penyakit dengan gejala yang lebih berat, yakni: potenuria berat atau gangguan hati, atau hasil tes darah, oleh karena itu pada kondisi emikian, peningkatan tekanan darah dapat diantisipasi, dengan diberikan terapi antihiperteni pada tekanan darah level tekanan darah yang lebih rendah yang telah disesuaikan.
Penggunaan obat hipertensif pada pre-eklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan aplopeksia serebri menjadi lebih kecil.
Perencananan kelahiran
Pada umumnya pada pre-eklampsia berat sesudah bahaya akut berakhir menjadi lebih baik, sebaiknya dipertimbangkan untuk menghentikan kehamilan oleh karena dalam keadaan demikian harapan janin dalam uterus menghambat sembuhnya penderita dari penyakitnya.
Perencanaan pengeluaran bayi disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala pre-eklampsia dan usia kehamilan. Pada preeklampsia ringan dengan usia kehamilan 40 minggu, sebaiknya dilahirkan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan pre-eklampsia ringan dapat diindukusi kelahiran. Pada usia kehamilan 32-34 minggu dengan pre-eklampsia berat sebaiknya dipertimbangkan untuk dilahirkan, dan fetus sebaiknya diberikan kortikosteroid.
Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu dengan preeklmapsia berat, kelahiran dapat ditunda untuk memperkecil tingkat morbiditas dan mortilitas bayi, ibu tersebut sebaiknya diberikan magnesium sulfat pada 24 jam pertama ketika diagnosis dibuat, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan menggunakan pengobatan, pasien sebaiknya diberikan kortikoseteroid untuk mematangkan organ paru bayi.
Jika usia kehamilan kurang dari 23 minggu, pasien sebaiknya diberikan induksi persalinan untuk diterminasi kelahirannya.
Bila usia kehamilan kurang dari 34 minggu dan proses persalinan dapat ditunda untuk sementara waktu, kortikosteroid sebaiknya diberikan, walaupun setelah 24 jam manfaat dari penatalaksaan konservatif ini harus dinilai kembali.
Bila usia kehamilan lebih dari 34 minggu, setelah dilakukan stabilisasi, proses persalinan direkomendasikan. Jika usia kehamilan kurang dari 34 minggu dan kehamilan dapat diperpanjang hingga lebih dari 24 jam,pemberian steroid dapat membantu menurunkan tingkat kematian bayi akibat gangguan pernapasan. Terdapat kemungkinan manfaat dari pemberian terapi steroid walaupn proses kelahiran terjadi kurang dari 24 jam setelah pemberian steroid. Pengeluaran bayi melewati vagina lebih baik dibandingkan dengan operasi sesar. Jika pengeluaran bayi secara vagina tidak tercapai selama kurun waktu tertentu, maka segera dilakukan operasi sesar.
Pengontrolan keseimbangan cairan
Pembatasan cairan disarankan untuk menurunkan resiko overload cairan pada peride kehamilan dan setelah kehamilan. Dalam keadaan biasa, total cairan sebaiknya dibatasi 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam.
Pada penanganan cairan yang tidak tepat pada kasus pre-eklampsia diperkirakan memiliki keterkaitan dengan timbulnya kasus edema paru. Selama kurang lebih 20 tahun, edema paru menjadi penyebab kematian ibu yang signifikan.
Pengeluaran bayi melewati vagina lebih baik dibandingkan dengan operasi sesar. Jika pengeluaran bayi secara vagina tidak tercapai selama kurun waktu tertentu, maka segera dilakukan operasi sesar.
Penanganan setelah kehamilan
Pada kasus pre-eklampsia berat pada masa setelah kelahiran dapat terjadi eklmpalsia. Dilaporkan lebih dari 44 % eklamsia dapat terjadi, terutama pada wanita yang melahirkan pada usia kehamilan aterm. Wanita yang timbul hipertensi atau gejala pre-eklampsia setelah kehamilan (sakit kepala, gangguan penglihatan, mual dan muntah, nyeri epigastrium) sebaiknya dirujuk ke spesialis.
Wanita dengan kelahiran yang disertai pre-eklampsia berat (atau eklampsia) sebaiknya dilakukan pemantauan dengan optimal pasca melahirkan. Dilaporkan dapat terjadi eklampsia setelah minggu ke-4.
Terapi anti-hipertensi sebaiknya tetap dilanjutkan pasca kehamilan. Walaupun, pada awalnya, tekanan darah turun, biasanya kan kembali naik kurang lebih 24 jam setelah kehamilan. Pengurangan terapi anti-hipertensi sebaiknya dilakukan secara berjenjang.
Corticosteroid digunakan pada pasien dengan sindrom HELLP. Hasil dari penelitian terbaru memperkirakan corticosteroid dapat memicu perbaikan gangguan biokimia dan hematology secara cepat, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan morbiditas
Magnesium sulphate sebaiknya dipertimbangkan pada wanita dengan pre-eklampsia yang memiliki risiko eklampsia, Magnesium sulphate selalu diberikan kepada wanita dengan pre-eklampsia berat ketika keputusan untuk melahirkan bayi diambil, dan pada periode postpartum yang segera, sedangkan pada kasus dengan pre-eklampsia yang kurang parah, keputusan untuk diberikan magnesium sulphate menjadi kurang jelas dan bergantung kepada kasus yang dihadapi masing-masing. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan: (1) Larutan larutan Sulfas magnesikus 40% sebanyak 10 ml (4 gram) sebagai loading dose, disuntikkan intramuscular sebagai dosis permulaan dan dengan Lanjutan diberikan 1gram/jam setelah 24 jam kejang terakhir.
Pada kasus kejang berulang dapat ditatalaksana dengan pemberian dari salah satu metode yakni: pemberian bolus 2 gram magnesium sulphate atau meningkatkan rata-rata infuse menjadi 1,5 gram atau 2.0 gram/jam.
Menurut penelitian MAGPIE menunjukkan pemberian magnesium sulfate terhadap wanita dengan pre-eclampsia menurunkan resiko terjadinya kejang eklamptik. Wanita yang diberikan magnesium sulphat memiiki resiko kejang eklamptik 58% lebih kecil (95% CL 40 – 71%).
Magnesium sulphate adalah terapi pilihan, sedangkan diazepam dan phenytoin sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Pemberian secara intravena memili resiko efek samping yang lebih kecil.
Magnesium sulphate diekresikan melalui urine, sehingga sebaiknya bila dilakukan observasi urine dan jika terjadi penurunan di bawah 20 ml/jam, infuse magnesium sebaiknya dihentikan.
Kecendrungan toksisitas magnesium dapat diperiksa secara klinis yakni terjadi hilangnya refleks tendon dalam dan depresi pernapasan.
Pengontrolan tekanan darah
Pemberian antihipertensi sebaiknya dimulai pada wanita dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah diastlik lebih dari 110 mmHg.
Pemberian Labetalol secara oral atau intravena, nifedipine secara oral atau intravena hydralazine dapat diunakan untuk penatalaksaan akut dari hipertensi berat.
Terdapat consensus bersama bila tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg, membutuhkan penanganan tehadap tekanan darah ibu. Obat terpilih yang digunakan Labetalol, nifedipine, atau hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan dapat diberikan awal lewat mulut pada kasus hipertensi berat dan kemudian,jika diperlukan, bisa secara intavena.
Terdapat konsesus, bila tekanan darah dibawah 160/100, tidak dibutuhkan secara mendesak pemberian terapi antihipertensi. Terdapat perkecualian, bila ditemukan indikasi untuk penyakit dengan gejala yang lebih berat, yakni: potenuria berat atau gangguan hati, atau hasil tes darah, oleh karena itu pada kondisi emikian, peningkatan tekanan darah dapat diantisipasi, dengan diberikan terapi antihiperteni pada tekanan darah level tekanan darah yang lebih rendah yang telah disesuaikan.
Penggunaan obat hipertensif pada pre-eklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan aplopeksia serebri menjadi lebih kecil.
Perencananan kelahiran
Pada umumnya pada pre-eklampsia berat sesudah bahaya akut berakhir menjadi lebih baik, sebaiknya dipertimbangkan untuk menghentikan kehamilan oleh karena dalam keadaan demikian harapan janin dalam uterus menghambat sembuhnya penderita dari penyakitnya.
Perencanaan pengeluaran bayi disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala pre-eklampsia dan usia kehamilan. Pada preeklampsia ringan dengan usia kehamilan 40 minggu, sebaiknya dilahirkan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan pre-eklampsia ringan dapat diindukusi kelahiran. Pada usia kehamilan 32-34 minggu dengan pre-eklampsia berat sebaiknya dipertimbangkan untuk dilahirkan, dan fetus sebaiknya diberikan kortikosteroid.
Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu dengan preeklmapsia berat, kelahiran dapat ditunda untuk memperkecil tingkat morbiditas dan mortilitas bayi, ibu tersebut sebaiknya diberikan magnesium sulfat pada 24 jam pertama ketika diagnosis dibuat, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan menggunakan pengobatan, pasien sebaiknya diberikan kortikoseteroid untuk mematangkan organ paru bayi.
Jika usia kehamilan kurang dari 23 minggu, pasien sebaiknya diberikan induksi persalinan untuk diterminasi kelahirannya.
Bila usia kehamilan kurang dari 34 minggu dan proses persalinan dapat ditunda untuk sementara waktu, kortikosteroid sebaiknya diberikan, walaupun setelah 24 jam manfaat dari penatalaksaan konservatif ini harus dinilai kembali.
Bila usia kehamilan lebih dari 34 minggu, setelah dilakukan stabilisasi, proses persalinan direkomendasikan. Jika usia kehamilan kurang dari 34 minggu dan kehamilan dapat diperpanjang hingga lebih dari 24 jam,pemberian steroid dapat membantu menurunkan tingkat kematian bayi akibat gangguan pernapasan. Terdapat kemungkinan manfaat dari pemberian terapi steroid walaupn proses kelahiran terjadi kurang dari 24 jam setelah pemberian steroid. Pengeluaran bayi melewati vagina lebih baik dibandingkan dengan operasi sesar. Jika pengeluaran bayi secara vagina tidak tercapai selama kurun waktu tertentu, maka segera dilakukan operasi sesar.
Pengontrolan keseimbangan cairan
Pembatasan cairan disarankan untuk menurunkan resiko overload cairan pada peride kehamilan dan setelah kehamilan. Dalam keadaan biasa, total cairan sebaiknya dibatasi 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam.
Pada penanganan cairan yang tidak tepat pada kasus pre-eklampsia diperkirakan memiliki keterkaitan dengan timbulnya kasus edema paru. Selama kurang lebih 20 tahun, edema paru menjadi penyebab kematian ibu yang signifikan.
Pengeluaran bayi melewati vagina lebih baik dibandingkan dengan operasi sesar. Jika pengeluaran bayi secara vagina tidak tercapai selama kurun waktu tertentu, maka segera dilakukan operasi sesar.
Penanganan setelah kehamilan
Pada kasus pre-eklampsia berat pada masa setelah kelahiran dapat terjadi eklmpalsia. Dilaporkan lebih dari 44 % eklamsia dapat terjadi, terutama pada wanita yang melahirkan pada usia kehamilan aterm. Wanita yang timbul hipertensi atau gejala pre-eklampsia setelah kehamilan (sakit kepala, gangguan penglihatan, mual dan muntah, nyeri epigastrium) sebaiknya dirujuk ke spesialis.
Wanita dengan kelahiran yang disertai pre-eklampsia berat (atau eklampsia) sebaiknya dilakukan pemantauan dengan optimal pasca melahirkan. Dilaporkan dapat terjadi eklampsia setelah minggu ke-4.
Terapi anti-hipertensi sebaiknya tetap dilanjutkan pasca kehamilan. Walaupun, pada awalnya, tekanan darah turun, biasanya kan kembali naik kurang lebih 24 jam setelah kehamilan. Pengurangan terapi anti-hipertensi sebaiknya dilakukan secara berjenjang.
Corticosteroid digunakan pada pasien dengan sindrom HELLP. Hasil dari penelitian terbaru memperkirakan corticosteroid dapat memicu perbaikan gangguan biokimia dan hematology secara cepat, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan morbiditas
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Preeklampsia adalah kelainan multisystem
spesifik pada kehamilan yang ditandai oleh timbulnya hipertensi dan proteinuria
setelah umur kehamilan 20 minggu. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan
darah dan proteinuria meningkat secara bermakna atau terdapat tanda-tanda
kerusakan organ (termasuk gangguan pertumbuhan janin)
·
Tanda gejala PEB:
1. Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr/24 jam atau
kualitatif +3 atau +4.
3. Oliguria ≤ 500 ml/24 jam
4. Nyeri kepala prontal atau
gangguan penglihatan
5. Nyeri epigastrium
6. Edema paru atau sianosis
7. Pertumbuhan janin intra uterine
yang terhambat (IUFGR)
8. HELLP Syndrome (H = Hemolysis, EL
= Elevated Liver Enzyme, LP = Low Platelet Counts).
·
Penatalaksanaan
PEB
Dapat ditangani
secara aktif atau konservatif.
1. Aktif
berarti : kehamilan diakhiri / diterminasi bersama dengan pengobatan medisinal.
2. Konservatif berarti : kehamilan
dipertahankan bersama dengan pengobatan medisinal.
B.
Saran
Ø Kepada pembaca khususnya calon ibu
hamil dan ibu hamil agar lebih memahami apa itu pre eklampsia berat serta
gejala apa saja yang timbul sehingga dapat melalukan pencegahan terhadap pre
eklampsia berat.
Ø Kepada tenaga kesehatan untuk
memahami secara mendalam mengenai pre eklampsia berat sehingga dapat memeberi
KIE kepada klien serta dapat mendeteksi dini kemungkinan yang dapat terjadi
sehingga akan lebih cepat mendapat penannganan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar