BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persalinan
merupakan sebuah proses fisiologis yang akan dialami pada kebanyakan wanita
hamil. Di dalam persalinan terdapat proses pengeluaran bayi, plasenta, cairan
ketuban dan selaputnya. Proses persalinan dapat berlangsung secaran normal
maupun resiko atau terjadi gangguan proses persalinan (dystocia). Gangguan persalinan ini erat kaitanya dengan
factor-faktor yang mempengaruhi proses persalinan yang dikenal dengan 5P yaitu:
power, passenger, passageway, posisi,
psycologis. Salah satu mengatasi gangguan persalinan khususnya terkait
dengan power dan passageway adalah dengan cara induksi persalinan.
Perdarahan
postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan lebih dari 500 –
600 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Perdarahan postpartum adalah perdarahan
dalam kala IV lebih dari 500 – 600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta
lahir. Haemoragic Post Partum ( HPP ) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml
dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi. Normalnya, perdarahan dari tempat
plasenta terutama dikontrol oleh kontraksi dan retraksi anyaman serat-serat
otot serta agregasi trombosit dan trombus fibrin di dalam pembuluh darah
desidua. Perdarahan postpartum dibagi atas dua bagian yaitu perdarahan
postpartum dini dan lanjut. Perdarahan postpartum dini adalah perdarahan yang
berlebihan selama 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai,
sedangkan perdarahan postpartum lanjut adalah perdarahan yang berlebihan selama
masa nifas, termasuk periode 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu induksi persalinan?
2.
Apa itu perdarahan post partum?
3.
Bagaimana melakukan induksi persalianan secara
farmakologi?
4.
Bagaimana penanganan perdarahan post partum secara
farmakologi?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui tentang induksi persalinan.
2.
Untuk mengetahui mengenai perdarahan post partum.
3.
Untuk mengetahui cara-cara melakukan induksi persalinan
secara farmakologi.
4.
Untuk mengetahui penanganan perdarahann post partum
secara farmakologi.
BAB II
ISI
Penanganan induksi kehamilan
dan perdarahan pasca salin dari aspek farmakoterapi
I.
Induksi
Persalinan
1.
Definisi
Induksi Persalinan
a.
Induksi persalinan
ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara
operatif maupun medicinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga
terjadi persalinan. Induksi persalinan beda dengan akselerasi persalinan, di
mana pada akselerasi persalinan tindakan – tidakan tersebut di kerjakan pada
wanita hamil yang sudah inpartu (Wiknjosastro, hanifa, 2007: 73)
b.
Induksi persalinan
merupakan suatu proses untuk memulai aktivitas uterus untuk mencapai pelahiran
per vaginam (David T.Y Liu, 2002: 182)
c.
Induksi persalinan
adalah upaya untuk melahirkan janin menjelanng aterm, dalam keadaan belum
terdapat tanda-tanda persalinan, atau belum in partu, dengan kemungkinan janin
dapat hidup di luar kandungan ( umur kandungan di atas 28 minggu) (dr. Ida Ayu
Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 451)
Jadi, dapat
di simpulkan bahwa induksi persalinan adalah salah satu upaya stimulasi
mulainya proses kelahiran ( dari tidak ada tanda – tanda persalinan, kemudian
distimulasi menjadi ada), cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk
mempermudah keluarnya bayi dari rahimsecara normal.
2.
Etiologi
Induksi Persalinan
Induksi
persalinan dilakukan karena :
Kehamilan sudah memasuki tanggal perkiraan
lahir bahkan lebih dari 9 bulan, ( kehamilan lewat waktu). Di mana kehamilan
melebihi 42 minggu, belum juga terjadi persalinan. Permasalahan lewat waktu
adalah plasenta tidak mampu memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga
janin menpunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim. Makin menurunnya
sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan:
a.
Pertumbuhan janin
makin melambat
b.
Terjadi perubahan
metabolisme
c.
Air ketuban berkurang
dan makin mengental
d.
Saat persalinan janin
lebih mudah mengalami asfiksia
Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu bisa
menjadi tiga kali di bandingkan dengan kehamilan aterm. Ada komplikasi yang
lebih sering menyertainya yaitu sepert, letak defleksi, posisi oksiput
posterior, diastosia bahu, dan pendarahan post partum.
3.
Indikasi
Induksi Persalinan
Menurut, dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG
2010: 451, bahwa induksi persalinan dibagi menjadi 2, yaitu:
a.
Indikasi Ibu
1)
Berdasarkan penyakit
yang di derita
a)
Penyakit ginjal
b)
Penyakit jantung
c)
Penyakit hipertensi
d)
Diabetes
Melitus
e)
Keganasan Payudara dan
porsio
f)
Komplikasi kehamilan
g)
Pre-eklamsi
h)
Eklamsi
i)
Berdasarkan kondisi
fisik
j)
Kesempitan panggul
k)
Kelainan bentuk
panggul
l)
Kelainan bentuk tulang
belakang
b.
Indikasi Janin
1)
Kehamilan lewat waktu
2)
Plasenta previa
3)
Solusio plasenta
4)
Kematian intrauterin
5)
Kematian berulang
dalam rahim
6)
Kelainan kongenital
7)
Ketuban pecah dini
c.
Kontraindikasi
Induksi Persalinan
Menurut, dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 453,
kontraindikasi pada induksi persalinan yang akan dilakukan lebih merugikan
dibandingkan tindakan sectio caesarea langsung.
1) Untuk janin
a)
Diasproporsi
sefalopelvis
b)
Malposisi dan
malpresentasi janin
c)
Denyut jantung janin
yang meragukan
2)
Untuk ibu
a)
Plasenta previa
b)
Grande multipara
c)
Infeksi herpes genital
aktif
d)
Riwayat insisi uterus
klasik atau bedah uterus
e)
Distensi rahim yang
berlebihan, misalnya pada hidramion.
d.
Manisfestasi Klinis
Induksi Persalinan
Manifestasi yang terjadi pada induksi persalinan adalah
kontraksi akibat induksi mungkin terasa lebih sakit karena mulainya sangat
mendadak sehingga mengakibatkan nyeri. Adanya kontraksi rahim yang berlebihan,
itu sebabnya induksi harus dilakukan dalam pengawasan ketat, dari dokter yang
menangani. Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang di timbulkan,
biasanya dokter akan menghentikan proses induksi kemudian di lakukan
operasi sectio caesarea ( David T.Y. Liu 2007:185)
e.
Patofisiologis
Induksi persalinan terjadi akibat adanya kehamilan lewat
waktu, adanya penyakit penyerta yang menyertai ibu misalnya hipertensi,
diabetes, kematian janin, ketuban pecah dini. Menjelang persalinan terdapat
penurunan progesteron, peningkatan oksitosin tubuh, dan reseptor terhadap
oksitosin sehingga otot rahim semakin sensitif terhadap rangsangan. Pada
kehamilan lewat waktu terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap
rangsangan, karena ketegangan psikologis dan kelainan pada rahim. Kekhawatiran
dalam menghadapi kehamilan lewat waktu adalah meningkatnya resiko kematian dan
kesakitan perinatal. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38
minggu dan kemudian mulai menurun setelah 42 minggu , ini dapat di buktikan
dengan adanya penurunan kadar estriol dan plasenta laktogen (dr. Ida Ayu
Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 454).
f. Jenis Induksi
Persalinan
1)
Secara medis
a)
Infus oksitosin
b)
Prostaglandin
c)
Cairan hipertonik
intrauterin
2)
Secara
manipulatif atau dengan tindakan
a)
Amniotomi
b)
Melepaskan selaput
ketuban dari bawah rahim (Stripping of the membrane)
c)
Pemakaian rangsangan
listrik
d)
Rangsangan pada puting
susu
g. Komplikasi
Induksi Persalinan
Penyulit pemberian infus Oksitosin pada ibu adalah:
1) Tetania
uteri, ruptura uteri membakat dan ruptura uteri
2) Gawat
janin
II.
Penanganan Induksi Secara Farmakoterapi
1.
Tracrium
Atrakurium merupakan relaksan
otot nondepolarisasi. Obat ini berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada
lempeng alir motorik. Lama blokade neuromuskuler adalah sepertiga dari
pankuronium pada dosis ekuipoten. Obat ini mengalami metabolisme yang cepat via
eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester enzymatic non spesifik. Metabolik
primernya adalah landanosin, suatu stimulan otak terutama diekskresi ke dalam
urine. Dosis yang berulang atau infus yang berlanjut kurang mempunyai efek
komulatif terhadap angka pemulihan dibanding relaksan otot lain. Konsentrasi
landanosin darah dapat mendekati rentang konvulsan (5,1 g/ ml) pada infusyang
lama. Pelepasan histamin dan perubahan hemodinamik dalam rentang dosis yang
disarankan dan jika diberikan secara lambat adalah minimal. Dosis yang lebih
tinggi (0,5 g/ kg) dapat menyebabkan pelepasan histamin yang sedang, penurunan
tekanan arteri dan peningkatan nadi.
a. Dosis
1) Intubasi
: IV 0,3 – 0,5 mg/ kg BB
2) Pemeliharaan
: IV 0,1 – 0,2 mg/ kg BB (10% – 50% dari dosis intubasi)
3) Infus
: 2 – 15 g/ kg per menit
b. Eliminasi
1)
Plasma (eliminasi Hofmann, hidrolisis ester),
hati, ginjal.
2)
Pengenceran untuk infus : 20 mg dalam 100 ml larutan
D5W atau NS (0,2 mg/ ml) ; 50 mg c)dalam 100 ml larutan D5W atau NS (0,5 mg/
ml).
c. Farmakokinetik
1)
Awitan aksi : < 3 menit
2)
Afek puncak : 3 – 5 menit
3)
Lama aksi : 20 – 35 menit.
d. Interaksi / toksisitas
Blokade neuromuskuler dipotensiasi oleh
aminoglikosida, antibiotik, anestetik lokal, dioretik, magnesium, litium,
obat-obatan penyekat ganglion, hipotermi, hipokalemia, dan asidosis pernafasan,
pemberian suksinilkolin sebelumnya ; kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30 –
45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik
volatil ; dosis pra pengobatan atracurium mengurangi fasikulasi tetapi
menurunkan intensitas dan memperpendek lamanya blokade neuromuskuler dari
suksinilkolin ; peningkatan blokade neuromuskuler akan terjadi pada pasien
dengan miastenia grafis atau fungsi adreno kortikal yang tidak adekuat. Efeknya
diantagonisir oleh inhibitor antikolinesterase, seperti neostigmin,
endrofonium, dan piridostigmin ; peningkatan resistensi atau reversi efek
dengan penggunaan teofilin dan pada pasien dengan luka bakar dan paresis.
e.
Peringatan
Gunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat asma bronkiale dan reaksi
anafilaktoid.
f.
Rekasi terhadap sistem tubuh
Kardiovaskuler : hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradi kardi
sinus.
Pulmoner : hipoventilasi, apnea, bronkospasma, laringospasma, dispnea.
Muskuloskeletal : blok yang tidak adekuat, blok yang lama.
Dermatologi : ruam, urtikaria.
2. Pentotal
Obat ini berbentuk pudar berwarna kuning dengan bau menyerupai H2S. obat
ini larut dalam air dan alkohol. Larutan biasanya 2,5 – 5% dalam cairan aquades
dan larutan ini sifatnya basa (PH 10,81). Dalam bentuk
larutan obat ini tidak stabil, tapi dapat disimpan 24 sampai 48 jam tanpa
bahaya asal cairan larutan itu tetap jernih. Bila menjadi keruh harus dibuang.
a. Pengeruh terhadap
sistem tubuh
1) Terhadap susunan syaraf pusat
Seperti obat barbiturate lainnya obat ini
menimbulkan sedasi, hipnose, sedikit analgesia, anestesia dan depresi
pernafasan tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian. Obat ini suatu anti
konvulsan dan meninggikan ambang rangsangan pada sel-sel syaraf. Korteks
serebri dan asending retikuler–aktivating sistem terdepresi lebih dulu sebelum
pusat meduler. Obat ini lebih mendepresi transmisi simpatis dari pada para
simpatis.
2)
Pada sistem respirasi
Pengaruh yang terbesar dari obat ini ialah depresi terhadap pusat
pernafasan, yang tergantung pada dosis pemberiannya. Sensitivitas dari pusat
pernafasan terhadap pengaruh CO2 menurun bahkan tidak ada. Tapi pada
refleks karotid dan aortik body terhadap kekurangan oksigen masih tetap ada
yang menimbulkan stimuli terhadap pernafasan.
3)
Pada sistem kardiovaskuler
Kekuatan kontraksi jantung menurun
dan jantung melebar, tetapi hal ini tidak penting bagi penderita yang sehat dan
hanya dengan dosis yang sedang. Hati-hati pada dekompensatio kordis dan sangat
berbahaya pada penyakit jantung yang tidak dapat melakukan kompensasi bila
terjadi perubahan kardiak output seperti konstriktif perikarditis, valvular
stenosis, complete heart block. ekanan darah menurun akibat dari depresi
pada pusat vasomotor atau karena pelebaran dari vaskular bed pada kulit dan
otot.
4)
Pada uterus yang hamil
Tidak mempengaruhi tonus uterus. Dapat melewati plasental barier dan
mencapai konsentrasi maksimumnya pada peredaran darah bayi segera setelah
disuntikkan.
b. Keuntungan-keuntungan
1)
Induksi yang cepat dan mudah
2)
Tidak ada stadium delirium.
3)
Dengan dosis yang tepat, recovery cepat dan relatif
bebas dari muntah dan nausea.
4)
Tidak ada iritasi pada mukosa saluran nafas.
5)
Dapat mempercepat dalamnya narkose.
c. Kerugian-kerugian
1)
Depresi pernafasan
2)
Cenderung terjadi laringospasma
3)
Dengan dosis yang aman, relaksasi abdomen hanya
sedikit.
4)
Depresi kardiovaskuler terutama untuk penderita yang
lemah.
5)
Terjadi gerakan otot yang tidak terkoordinir.
d. Kontra indikasi pentotal
1)
Anak-anak di bawah usia 4 tahun. Karena pusat
pernafasannya sangat mudah terdepresi.
2)
Penderita shock, sangat anemis dan kasus uremia.
3)
Dispnea yang berat akibat penyakit jantung atau
paru-paru.
4)
Kasus obstruksi pernafasan.
5)
Bronkoskopi dan esofaguskopi, kecuali disertai topikal
anestesi yang cukup/ relaksan.
6)
Penderita asma.
7)
Penderita yang lemah dan tua.
8)
Kasus distrofia miotonia
9)
Addisons desease dan mix odema.
10) Miastenia
grafis
11) Gangguan
fungsi hepar.
12) Porphyria
13) Hiperkalemia
familial periodik paralisis.
14) Huntingtons
Chorea
15) Pada
eksternal version (relaksasi tidak cukup)
16) Penderita
yang susah dicari venanya.
e.
Dosis
Induksi : IV 3 – 5 mg/ kg BB (anak 5 – 6 mg/ kg ; bayi 7 – 8 mg/ kg )
Suplementasi anestesia : IV 0,5 – 1 mg/ kg BB.
Induksi rektal : 25 mg/ kg BB
Antikomvulsan : IV 0,5 – 2 mg/ kg BB, ulangi seperti yang diperlukan.
Penurunan ICP : IV 1 – 4 mg/ kg BB
Narkosis barbiturat : bolus IV 8 mg/ kg prn untuk mempertahankan supresi
ledakan EEG (dosis total 40 mg/ kg BB)
Infus : 0,05 – 0,35 mg/ kg BB/ menit ; pada dosis tinggi diperlukan
bantuan pernafasan dan inotropik.
3. Suksinil Kolin Klorida
Suksinil kolin merupakan relaksan otot skelet depolarisasi beraksi ultra
pendek. Berkombinasi dengan reseptor kolinergik dari lempeng akhiran motorik
untuk menghasilkan depolarisasi (fasikulasi). Suksinil kolin tidak mempunyai
efek terhadap kesadaran, ambang nyeri, uterus atau otot polos lain. Suksinil
kolin dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Efek jantung awal mencerminkan
aksi pada ganglia otonomik (meningkatkan nadi dan tekanan darah). Pada dosis
yang lebih tinggi dapat terjadi bradikardi sinus.
a.
Farmakokinetik
Awitan aksi : IV 30 – 60 menit, IM 2 – 3 menit.
Efek puncak : IV 60 menit.
Lama aksi : IV 4 – 6 menit, IM 10 – 30 menit.
b.
Interaksi / Toksisitas
Blokade neuromuskuler dapat diperpanjang terjadi pada pasien dengan
hipokalemia atau hipokalsemia, pseudo kolinesterase plasma yang rendah. Blokade
diperpanjang oleh pra pengobatan dengan pankuronium. Pada miastenia grafis
respon tidak dapat diramalkan, bradikardi setelah suntikan IV kedua. Suksinil
kolin tidak kompatibel dengan larutan alkali dan akan mengendapkan natrium
tiopental.
c.
Penggunaan
Relakasasi otot skelet
Dosis : IV 0,7 – 1 mg/ kg BB (1,5mg/ kg dengan pra pegobatan non
depolarisator). Neonatus dan bayi 2 – 3 mg/ kg BB, anak-anak 1 – 2mg/ kg BB
IM : dalam 2,5 – 4 mg/ kg BB
d.
Reaksi samping utama
Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi, aritmia, takikardia, hipertensi.
Pulmoner : hipoventilasi, apnea, bronkospasma.
GI : salivasi berlebihan, peningkatan tonus sfingter intragastrek dan esofagus
bagian bawah.
Alergik : reaksi anapilaktik, ruam.
Muskuloskeletal : blok yang diperpanjang, blok yang tidak adekuat, nyeri
otot, peningkatan tonus maseter.
Lain-lain : hoperkalemia, hipertermia maligna, peningkatan tekanan intra
okuler.
4. Enflurane (etrane)
Enflurane
merupakan metil eter yang mudah menguap. Merupakan cairan jernih, tidak
berwarna dengan bau harum dan menyebabkan iritasi minimal pada jalan nafas,
sehingga merupakan obat yang nyaman untuk induksi inhalasi. Enflurane tidak
mudah terbakar pada konsentrasi dibawah 5,8 % (dengan 70 % N2O dan
30 % O2). Stabil pada sodalime, tidak bereaksi dengan logam dan
tidak dapat dipengaruhi oleh cahaya.
MAC Enflurane
menurun sesuai dengan umur, dengan nilai tertinggi pada bayi (2,4) dan terendah
pada orang tua (1,4). Pada dewasa sekitar 40 tahun, MAC Enflurane dalam oksigen
sebesar 1,7. Penambahan 50% N2O akan menurunkan MAC sekitar 50%
menjadi 0,9 dan bila N2O ditingkatkan menjadi 70% maka MAC menurun
70% menjadi sekitar 0,5.
a.
Cara Pemberian
Induksi dapat
dilakukan dengan cepat dengan menggunakan obat intravena seperti tiopental atau
dengan inhalasi dengan meningkatkan secara gradual konsentrasi enflurane sampai
4%. Dengan teknik induksi menggunakan sungkup muka, stadium anestesi dicapai
dalam 7-10 menit, sehingga enflurane merupakan gas yang nyaman untuk induksi
dan lebih disukai daripada halotan.
b.
Absorbsi dan
Eliminasi :
Koefisien
partisi darah/gas enflurane adalah 1,9 (370 C) dan kelarutannya
sangat bervariasi, berhubungan dengan berat badan dan kadar hemoglobin. Body
Mass Index (BMI) diatas 30 menunjukkan kelarutan darah/gas yang rendah yaitu
1,8 dibandingkan nilai rata-rata sekitar 2,0 pan non obs. Konsentrasi Hb
mempunyai efek yang lebih besar. Hb 8,0 g/dl mempunyai koefisien darah/gas
1,2. Hb 12,0 g/dl berkisar 1,8 dan Hb 15, 0 g/dl berkisar 2,2. Koefisien
kelarutan darah/gas rata-rata enflurane adalah 1,9 menunjukkan bahwa induksi
menggunakan enflurane lebih lambat dibandingkan isoflurane. Kelarutan dalam
jaringan kurang lebih setengah dari isoflurane, akibatnya efek terhadap
jaringan lebih lambat, sehingga cenderung menkonpensasi kelarutan dalam darah
yang tinggi. Setelah 10 menit induksi, konsentrasi alveolar enflurane berkisar
50% konsentrasi inspirasi dan dalam 30 menit menjadi 60%. Keseimbangan dalam
jaringan kaya pembuluh darah tercapai dalam 10 menit. Selama 30 menit
berikutnya uptake enflurane secara gradual akan menurun dan konsentrasinya
lebih rendah, dengan rentang 3,0–3,5% akan memelihara konsentrasi alveolar
sekitar 30% diatas MAC. Pada 1,3 MAC konsentrasi enflurane dalam darah (mg/dl),
dengan koefisien kelarutan 1,9 dan tekanan parsial darah 2,2% (1,7% x 1,3 MAC),
berkisar 30 mg/dl. Dengan N2O 70%, konsentrasi alveolar 1,3 x MAC
dapat dipertahankan dengan membuat konsentrasi inspirasi enflurane sebesar
1,5%.
Pulih sadar
bervariasi sesuai lama anestesi. Pada tindakan anastesi kurang dari 30 menit,
rata-rata pulih sadar adalah 4 menit, dibandingkan 10 menit pada halotan.
Dengan demikian rekoferi pasca tindakan anestesi yang diangkat pada penggunaan
enflurane lebih cepat dibandingkan dengan halotan, sehingga enflurane lebih
nyaman digunakan pada pelayanan pembedahan sehari. Untuk tindakan yang lama,
pulih sadar enflurane 2 kali lebih panjang dari isoflurane, tetapi pada
tindakan anastesi kurang dari 1 jam, pulih sadar terjadi kurang dari 15 menit
pada sebagian besar pasien.
c.
Biotransformasi
2-8 % enflurane
yang diabsorbsi dimetabolisme dan diekskresikan dalam urine sebagai ikatan
fluorinated non volatil dan fluor bebas. Metabolik utama adalah asam
diflurometoksi difluroasetat yang dihasilkan dari hidroksilasi dan
dehidrogenasi karbon dari kelompok etil. Eliminasi enflurane dalam udara
ekspirasi dalam bentuk trieksponensial dengan T ½ sekitar 17,8 menit, 3,2 jam
dan 36,2 jam.
d.
Kadar Fluor
Serum
Dalam klinik,
kadar fluor serum inorganik jarang mencapai 50 mol/l (merupakan ambang
toksisitas sub klinik). Dengan enflurane 2 MAC kadar fluor serum kurang dari 20
mol/l. kadar fluor yang tinggi tampak pada pasien yang gemuk, dengan kadar
puncak sekitar 30 mol/l. akibat peningkatan pada metabolisme, fenomena ini
juga tampak pada isoflurane. Fluor yang bebas yang terbentuk, kurang
lebih prosentasenya akan cepat dideposit pada tulang dan setengahnya lagi akan
diekskresi dalam urine. Selanjutnya fluor secara bertahan akan dikeluarkan dari
tulang dan akan diekskresikan melalui ginjal.
e.
Efek-Efek Fisiologis
1)
Sistem Syaraf
Pusat
Penekanan
progresif pada sususnan syaraf pusat terjadi dengan peningkatan kadar enflurane
dalam darah, pada sekitar 15-20 ml/dl. Tanda-tanda iritabilitas tampak pada 2%
dari pasien yang dimanifestasikan dengan gerakan abnormal (twitching) pada
rahang, leher atau ekstreminitas yang berhubungan dengan kedalaman anestesi dan
hipokarbi. Aktivitas kejang biasanya hilang sendiri dan tidak berlanjut bila
anastesi dikurangi dan fentilasi dikembalikan normal, meskipun konsentrasi
enflurane yang rendah (dibawah 2,0%).
2)
Aliran Darah
Otak (CBF)
Enflurane hanya
sedikit meningkatkan CBF meskipun demikian efek potensial pada tekanan
intrakranial mungkin sebaiknya dipertimbang-kan dengan adanya lesi
intrakarnial. Pada konsentrasi 1 MAC enflurane meningkatkan CBF sekitar 50%
dimana hal ini dianggap cukup rendah dibandingkan dengan halotan yang dapat
menaikkan CBF 2,5 kali lipat dari normal. Pada 1,5 MAC enflurane meningkatkan
CBF 2 kali lipat meskipun peningkatan CBF oleh enflurane dapat dikurangi dengan
hiperventilasi (yang menunjukkan bahwa reaktifitas CO2 tetap
terpelihara).
Enflurane juga
mendespresi susunan syaraf pusat. Pada 1-2 MAC, enflurane menurunkan CMRO2
sebesar 10-15%. Efek enflurane pada sekresi LCS adalah unik. Pada awalnya akan
menaikkan produksi LCS sekitar 50%, sehingga menaikkan TIK pada pasien dengan
penurunan kompliance intrakranial. Selanjutnya terjadi penurunan secara
bertahap sekitar 6% per jam.
3)
Respirasi
Depresi
ventilasi oleh enflurane sesuai kedalaman anestesi perubahan moderat pada
ventilasi selama anestesi dangkal dengan 1,5-2 % enflurane dan 50%N2O
akan memperbaiki takipnea dan volume tidal yang kecil. Enflurane cukup kuat
mendepresi respirasi sehingga ventilasi asisted atau kontrol diperlukan.
Ventilasi spontan pada pasien tanpa premedikasi dengan enflurane konsentrasi
tinggi (dalam O2), ternyata mengalami depresi. Hal ini dibuktikan
dengan peningkatan PaCO2 yang melebihi 70 mmHg pada konsentrasi
alveolar sekitar 1,5 MAC.
Tidak lama
setelah induksi terjadi perubahan yang ringan pada hantaran jalan nafas, tetapi
dalam 15 menit tahanan jalan nafas akan menurun 56%, keadaan ini lebih
menguntungkan.
4)
Jantung
Depresi
kontraktilitas miokard terjadi selama anastesi dengan enflurane. Efek primer
pada kontraktilitas menurunkan kekuatan kontraksi dan efek sekundernya adalah
memendekkan durasi keadaan aktif. Para meter lain yang terdepresi adalah
kecepatan pemendekan yaitu pemendekan serabut, tekanan menuju puncak dan
kecepatam maksimal kontraksi isotonik kekuatan dan kerja. Depresi ini
menurunkan curah jantung sebesar 30%, peranan terbesar adalah dengan menurunkan
stroke volume.
Irama jantung
tetap stabil. Aritmia umumnya tidak sering, termasuk kontraksi ventrikel yang
prematur, bradikardi irama nodul dan kontrasi atrium yang prematur. Enflurane
tidak meningkatkan sensitifitas terhadap katekolamin dengan derajar yang hampir
sama dengan halotan. Enflurane dalam oksigen menurunkan resistensi vaskuler
koroner sekitar 20% sedangkan konsumsi O2 miokard turun 40%.
Enflurane merupakan vasodilator koroner dan tambahan N2O memperkuat
efek ini. Pada 1-1,5 MAC menurunkan tekanan darah arteri sekitar 35-40%.
Depresi simpatis sentral tampaknya bukan merupakan faktor yang penting sebagai
penyebab hipertensi dengan enflurane oleh karena enflurane menurunkan
resistensi vaskular sistemik hanya 20-25%.
5)
Sistem Syaraf
Simpatis
Sekresi dan
pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dari aktivasi syaraf simpatis yang
spontan atau dari stimulasi nervus splandinicus dihambat oleh enflurane.
6)
Ginjal
Menurunkan
aliran darah ginjal, kecepatan filtrasi glomerulus, dan urine output. Sebagai
akibat penurunan tekanan darah jantung. Setelah pemberian enflurane jangka
lama, peningkatan kadar fluor diduga akibat penurunan kemampuan pemekatan
ginjal.
7)
Hepar
Selama anestesi
rutin dengan enflurane tidak terjadi penurunan fungsi hepar.
8)
Efek
Neuromuskuler
Pada 1,5– 2,5
MAC mendepresi secara tidak langsung respon kejang pada preparat neuromuskuler.
Keadaan ini menunjukkan bahwa enflurane mempunyai efek yang poten terhadap
neuromuskuler junction. Pelumpuh otot dapat mengurangi konsentrasi enflurane
sehingga dapat mengurangi terjadinya hipertensi.
5. Efedrin sulfat
a. Farmakologi
Obat ini merupakan suatu simpatomimetik non
katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tak langsung. Obat ini resisten
terhadap metabolisme oleh MAO dan methil transferase katekol O (COMP),
menimbulkan aksi yang berlangsung lama. Meningkatkan curah jantung, tekanan
darah dan nadi melalui stimulasi adrenergik alfa dan beta.
Meningkatkan aliran darah koroner dan skelet dan menimbulkan bronkodilatasi
melalui stimulasi reseptor beta 2. Epedrim mempunyai efek minimal terhadap
aliran darah uterus, namun memulihkan aliran darah uterus jika digunakan untuk
mengobati hipotensi epidural atau spinal pada pasien hamil.
b.
Farmakokinetik
Awitan aksi : IV hampir langsung, IM beberapa menit.
Efek puncak : IV 2 – 5 menit, IM kurang 10 menit.
Lama aksi : IV / IM 10 – 60 menit.
Interaksi / Toksisitas : peningkatan resiko aritmia dengan obat anestetik
volatil.
c.
Reaksi samping utama
Kardiovaskuler : hipertensi, takikardia, aritmia.
Pulmuner : edema paru
Susunan syaraf pusat : ansietas, tremor.
Metabolik : hiperglikemia, hiperkalemia sementara, kemudian hipokalemia.
Dermatologi : nekrosis pada tempat suntikan.
Penggunaan : vasopresor, bronkodilator.
d.
Dosis
IV 5 – 20 mg (100 – 200 g/ kg)
IM : 25 – 50 mg.
PO : 28 – 50 mg tiap 3 – 4 jam.
Eliminasi melalui hati dan ginjal.
6. Petidine
a. Farmakologi
Opioid sintetik ini mempunyai kekuatan kira-kira
sepersepuluh morfin dengan awitan yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang
lebih pendek. Dibandingkan dengan morpin, petidin lebih efektif pada nyeri
neuropatik. Mempunyai efek vagolitik dan antispasmodik ringan. Dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik pada dosis terapeutik. Petidin metabolik
aktifnya merupakan stimulan otak dan terutama diekskresikan ke dalam urine.
Petidine menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolisme otak dan TIK.
Petidine melewati sawar plasenta maksimum dan depresi neonatus terjadi dua
sampai tiga jam setelah pemberian parenteral. Pemberian petidine spinal dan
epidural menimbulkan anelgesia melalui pengikatan spesifik dan aktivasi dari
reseptor opioid dalam substansia gelatinosa.
b.
Farmakokinetik
Awitan aksi : IV < 1 menit. IM 1–5 menit. Spinal/ epidural 2–12 menit
Efek puncak : IV 5–20 menit, IM 30–50 menit, Spinal/ epidural 30 menit
Lama aksi : IV/ IM 2–4 jam, epidural/ spinal 0,5 – 3 jam.
c.
Interaksi/ Toksisitas
Kejang, mioklonus, delirium pada dosis tinggi berulang dan pada pasien
dengan gangguan ginjal atau hati ; mempotensiasi depresi susunan syaraf pusat
dan sirkulasi dari narkotik, sedatif narkotik, anestetik volatil, anti depresi
trisiklik ; reaksi berat kadang-kadang fatal (hipertermia, hipertensi, kejang)
dengan inhibitor MAO : memperburuk efek samping isoniazid, campuran yang secara
kimiawi tidak kompatibel dengan barbiturat, analgesia ditingkatkan dan
diperpanjang oleh agonis alfa 2 (klonidin) ; penambahan epineprin pada petidin
intra tekal/ epidural menimbulkan peningkatan efek samping (mual) dan
perpanjangan blok motorik.
Pengenceran untuk infus : IV 100 mg dalam 50 ml D5W atau NS (2 mg/ ml),
infus epidural 100 – 500 mg dalam 50 anestetik lokal atau NS (bebas pengawet) 2
– 10 mg/ ml.
d.
Reaksi samping utama
Kardiovaskuler : hipotensi, henti jantung.
Pulmoner : depresi pernafasan, henti nafas,
laringospasma.
Susunan syaraf pusat : eforia, disforia, sedasi, kejang,
ketergantungan psikis.
GI : konstipasi, spasma trakstus biliaris.
Muskuloskeletal : kekakuan dinding dada
Alergik : urtikaria, pruritus.
7. Pitogin Ampul
|
|
a. Komposisi
Sinthetic Oxytocin.
b. Indikasi
1)
Induksi pada persalinan dan kasus lain.
2)
Kontrol perdarahan dan pasca partum, atonus uterus.
3)
Menstimulasi kontraksi uterus pasca operasi sesar atau
operasi uterus lainnya.
4)
Induksi Pada abortus.
c. Kontra Indikasi
Kontraksi
hipertonik, gawat janin dalam persalinan preterm, disporposi sefalopelvik,
presentase abnormal, plasenta previa, abruptio plasenta, lilitan tali pusat
atau prolapsus, peregangan berlebihan pada uterus.
d. Perhatian
Untuk induksi atau mempercepat persalinan gunakan infus Intra Vena, monitor kecepatan detak jantung janin dan kontraksi uterus.
Interaksi Obat:
Prostaglandin, anestesi inhalasi, vasokonstriktor.
e. Efek Samping
Intoksikasi air sementara, gangguan Gastro Intestinal, aritmia jantung.
f. Indeks Keamanan Pada Wanita Hamil
X: Penelitian pada manusia dan hewan telah menunjukkan janin yang abnormal atau ada kejadian berbahaya pada janin berdasarkan pengalaman manusia atau keduanya, dan risiko penggunaan obat pada wanita hamil jelas melampaui keuntungannya. Obat dikontraindikasikan pada wanita yang sedang atau akan hamil.
e. Kemasan
Ampul 10 iu/mL 1 mL x 10's.
f. Dosis
1)
Induksi atau mempercepat Persalinan 1 - 5 iu
secara infus Intra Vena dalam 500 mL larutan infus. Awal kecepatan infus : 1 -
4 miliunit / menit ( 2 - 8 tetes/menit ), ditingkatkan secara bertahap,
maksimal : 20 miliunit /menit ( 40 tetes/menit )
2)
Abortus Inkomplet 5 iu Intra Vena perlahan atau
5 - 10 iu Intra Muskular, perlu lanjutkan dengan 20 - 40 miliunit/menit infus
Intra Vena.
3)
Pencegahan atau Terapi Perdarahan Pasca Persalinan
5 iu Intra Vena atau Intra Muskular.
4)
Seksio Caesar 5 iu intramural atau Intra Vena
perlahan setelah anak lahir.
Obat
– obat yang termasuk uterotonik dan yang biasa digunakan untuk pencegahan
perdarahan postpartum :
- Oksitosin
Oksitosin identik dengan oksitosin yang dibuat oleh tubuh di lobus
posterior hipotalamus. Dapat diberikan suntikan intravena atau intramuskular
sebelum atau setelah melahirkan tali pusat. Dianjurkan untuk diberikan setelah
melahirkan bahu depan (anterior shoulder). Hati – hati bila diberikan
bolus karena dapat menyebabkan hipotensi.
- Metilergometrin
Metilergometrin biasa diberikan secara intramuskular meskipun juga dapat
diberikan intravena atau oral. Kontraindikasi untuk pasien dengan hipertensi,
migrain, sindroma Raynaud. Efek samping yang mungkin timbul mual, muntah,
tinitus, sakit kepala, peningkatan tekanan darah. Metilergometrin juga
dikeluarkan melalui ASI.
Di beberapa
negara dunia, selain dari uterotonik yang sudah ada dan
Pitocin adalah
Oksitosin versi sintetik yang dibuat manusia. Oksitosin adalah hormon
alami yang diproduksi oleh tubuh.
Kapan Pitocin
Digunakan dalam persalinan?
Meskipun Pitocin
dimaksudkan untuk hanya digunakan dalam kala I tahap akhir, namun kenyataannya
saat ini itu digunakan secara rutin dari awal persalinan atau bahkan untuk
memulai persalinan secara artifisial. Pdahal Penggunaan yang disarankan,
pada label adalah:
PENGGUNAAN:
Oksitosin adalah hormon yang digunakan selama tahap akhir kehamilan untuk
menginduksi persalinan (kontraksi). ini sering digunakan untuk induksi
persalinan pada kehamilan sulit atau kehamilan berisiko komplikasi (misalnya,
preeklampsia, eklampsia, diabetes).
Pitocin sering
dianjurkan jika staf medis Anda terasa seperti tidak ada "kemajuan"
dalam persalinan atau jika kontraksi Anda tampaknya tidak akan
"efektif". Dokter mengikuti bagaimana kemajuan persalinan anda
melalu grafik. Grafik ini telah ada selama seratus tahun atau lebih. Bagan
untuk persalinan tahap pertama (kala I) adalah seorang ibu bersalin harus
mengalami pembukaan serviks/ melebarkan 1 cm / jam.
Kontra
indikasi Pitocin:
Saya akan mulai
dengan mengatakan bahwa dalam situasi darurat yang benar Pitocin dapat menjadi
alat vital. Jika seorang wanita mengalami pendarahan setelah melahirkan,
Pitocin dapat membantu menghentikan pendarahan sebelum resiko kematian
mengancam. Namun, sebagian besar pitocin tidak digunakan untuk situasi
darurat saja.
PERINGATAN: Obat
ini direkomendasikan hanya untuk digunakan dalam kehamilan yang memiliki alasan
medis untuk membantu persalinan (misalnya, eklampsia). Hal ini tidak
dianjurkan untuk prosedur elektif (sukarela) atau untuk membuat proses
melahirkan lebih nyaman. Untuk informasi tambahan, konsultasikan dengan
dokter Anda.
III.
Perdarahan
Post Partum
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian
maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko
perdarahan post partum dan sekuelenya. Walaupun angka kematian maternal telah
turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap
merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal
secara langsung di Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000
kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8%
dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara industri,
perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab
kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran
hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap
tahunnya.
Definisi perdarahan post partum saat ini belum dapat
ditentukan secara pasti. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai
kehilangan darah lebih dari 500 mL setelah persalinan vaginal atau lebih dari
1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu
kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila
perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum
sekunder.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar,
R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan.
Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka
kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran
etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %),
retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah
(0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2
komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta
kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab
terjadinya perdarahan post partum.
A.
Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500
cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah
persalinan abdominal1,2,3. Kondisi dalam persalinan menyebabkan
kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah
perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung,
berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg,
denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL 2.
Perdarahan
post partum dibagi menjadi:
1. Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum
Primer (early postpartum hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
2. Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder
(late postpartum hemorrhage)
Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan
yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah
kala III.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain:
1. Atonia uteri
2. Luka jalan lahir
3. Retensio plasenta
4.Gangguan pembekuan darah
C. Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di
R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan
baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara
5% sampai 15%5.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:
1. Sisa plasenta 23 – 24 %
2. Retensio plasenta 16 – 17 %
3. Laserasi - Atonia uteri 50 – 60 %
jalan lahir 4 – 5 %
4. Kelainan darah 0,5 – 0,8 %
D. Penilaian
Klinik
Tabel II.1. Penilaian Klinik untuk
Menentukan Derajat Syok
Volume
Kehilangan Darah
|
Tekanan
Darah (sistolik)
|
Gejala dan
Tanda
|
Derajat
Syok
|
500-1.000 mL
(10-15%)
|
Normal
|
Palpitasi, takikardia, pusing
|
Terkompensasi
|
1000-1500 mL (15-25%)
|
Penurunan ringan (80-100 mm Hg)
|
Lemah, takikardia, berkeringat
|
Ringan
|
1500-2000 mL (25-35%)
|
Penurunan sedang (70-80 mm Hg)
|
Gelisah, pucat, oliguria
|
Sedang
|
2000-3000 mL (35-50%)
|
Penurunan tajam (50-70 mm Hg)
|
Pingsan, hipoksia, anuria
|
Berat
|
Tabel II.2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab
Perdarahan Post Partum
Gejala
dan Tanda
|
Penyulit
|
Diagnosis Kerja
|
Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
Perdarahan segera setelah anak lahir
|
Syok
Bekuan darah pada serviks atau posisi telentang akan menghambat aliran
darah keluar
|
Atonia uteri
|
Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir
Uterus berkontraksi dan keras
Plasenta lengkap
|
Pucat
Lemah
Menggigil
|
Robekan jalan lahir
|
Plasenta belum lahir setelah
30 menit
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi dan
keras
|
Tali pusat putus akibat
traksi berlebihan
Inversio uteri akibat
tarikan
Perdarahan lanjutan
|
Retensio plasenta
|
Plasenta atau sebagian
selaput tidak lengkap
Perdarahan segera
|
Uterus berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak berkurang
|
Retensi sisa plasenta
|
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
|
Neurogenik syok
Pucat dan limbung
|
Inversio uteri
|
Sub-involusi uterus
Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus
Perdarahan sekunder
|
Anemia
Demam
|
Endometritis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi atau tidak)
|
E. Kriteria
Diagnosis
1.
Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar
melalui vagina terus menerus
2.
Pemeriksaan obstetri:
Mungkin kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada
atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan
lahir
3.
Pemeriksaan ginekologi:
Dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat
diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta
F. Faktor
Resiko
1·
Penggunaan obat-obatan (anestesi umum, magnesium sulfat)
2·
Partus presipitatus
3·
Solutio plasenta
4·
Persalinan traumatis
5·
Uterus yang terlalu teregang (gemelli, hidramnion)
6·
Adanya cacat parut, tumor, anomali uterus
7·
Partus lama
6·
Grandemultipara
7·
Plasenta previa
8·
Persalinan dengan pacuan
9·
Riwayat perdarahan pasca persalinan
G. Pemeriksaan
Penunjang
1.
Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak
periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk.
b. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus
dilakukan sejak periode antenatal.
c. Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti
waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
2. Pemeriksaan radiologi
a. Onset perdarahan
post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat,
resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat
dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat
adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta.
b. USG pada periode
antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko tinggi yang
memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti plasenta
previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.
H. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani
dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri
serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab
terjadinya perdarahan post partum.
1.Resusitasi
cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik
vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani
penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena.
Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita
dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada
pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan
resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin
(NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS
merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan
kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko
terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan
perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak
(>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan
yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan
perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu
penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan
di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.
Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema
perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan
mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL
pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid
jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak,
biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan
koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang
buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan
NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada
pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
2.Transfusi
Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih
terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis
pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC
digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para
klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan
jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan
transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen
yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat
kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi
dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan
Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat
menyebabkan penjendalan.
Tabel
II.3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis
dan Cara
|
Oksitosin
|
Ergometrin
|
Misoprostol
|
Dosis dan cara pemberian awal
|
IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
|
IM atau IV (lambat): 0,2 mg
|
Oral atau rektal 400 mg
|
Dosis lanjutan
|
IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
40 tetes/menit
|
Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit
Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam
|
400 mg 2-4 jam setelah dosis awal
|
Dosis maksimal per hari
|
Tidak lebih dari 3 L larutan fisiologis
|
Total 1 mg (5 dosis)
|
Total 1200 mg atau 3 dosis
|
Kontraindikasi atau hati-hati
|
Pemberian IV secara cepat atau bolus
|
Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi
|
Nyeri kontraksi
Asma
|
I.Penyulit1
1. Syok
ireversibel
2. DIC
3.
Amenorea sekunder
J. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif
pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan
perdarahan post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal
berikut:
1.
Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
2.
Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
3. Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik
uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik
Bagan
II.1. Penanganan Perdarahan Post Partum Berdasarkan Penyabab
ATONIA UTERI
A. Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot
miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab
perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah
bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan
perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik.
B. Etiologi
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif,
merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus
dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau
kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di
uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.
Lemahnya
kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama
atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal
ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan
oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat
antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus
couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data
terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen
untuk terjadinya perdarahan post partum3.
C. Penatalaksanaan2,3
1.
Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
2. Masase uterus, berikan oksitosin dan
ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin
dilanjutkan perinfus.
3. Bila tidak ada perbaikan dilakukan
kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara
ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
4.
Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran
darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan
hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan
kompresi bimanual internal
5.
Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam
miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang
terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti,
tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi ,
coba kompresi aorta abdominalis
6.
Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan
posisi tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan
yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
7. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap
oksitosin / ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara
intramuskuler atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu
pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
8. Laparotomi dilakukan bila uterus tetap
lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi
adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum
punya anak atau muda sekali)
9. Bila
tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
Bagan
II.2. Penilaian Klinik Atonia Uteri
RETENSIO PLASENTA
A. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian
besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus
B. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara
lain2:
1. Plasenta adhesiva adalah
implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
2. Plasenta
akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium
3. Plasenta
inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/melewati lapisan miometrium
4. Plasenta perkreta adalah
implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan miometrium hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus
5. Plasenta
inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
Tabel
II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta2
Gejala
|
Separasi / akreta parsial
|
Plasenta inkarserata
|
Plasenta akreta
|
Konsistensi uterus
|
Kenyal
|
Keras
|
Cukup
|
Tinggi fundus
|
Sepusat
|
2 jari bawah pusat
|
Sepusat
|
Bentuk uterus
|
Diskoid
|
Agak globuler
|
Diskoid
|
Perdarahan
|
Sedang-banyak
|
Sedang
|
Sedikit/tidak ada
|
Tali pusat
|
Terjulur sebagian
|
Terjulur
|
Tidak terjulur
|
Ostium uteri
|
Terbuka
|
Konstriksi
|
Terbuka
|
Separasi plasenta
|
Lepas sebagian
|
Sudah lepas
|
Melekat seluruhnya
|
Syok
|
Sering
|
Jarang
|
Jarang sekali
|
I. Penatalaksanaan
1.Retensio
plasenta dengan separasi parsial
a.
Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambil
b.
Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta
tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
c. Pasang infus oksitosin 20
IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan
dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin
karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap
dalam kavum uteri)
d. Bila traksi terkontrol gagal untuk
melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk
menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
e.
Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
f. Beri
antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria
/ oral)
g.
Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik
2.Plasenta
inkarserata
a.
Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
b. Siapkan peralatan dan bahan yang
dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta
c.pilih fluethane atau eter untuk konstriksi
serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40
tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan
anestesi tersebut
d. Bila
prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan
manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik
(Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV)
pada tabung suntik yang terpisah
Manuver
sekrup:
1)
Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan jelas
2)Jepit
porsio dengan klem ovarium pada jam 12, 4 dan 8 kemudian lepaskan spekulum
3)Tarik
ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak lebih jelas
4)
Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan
agar dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk memegang klem tersebut
5)
Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan
6)
Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah jarum jam, tarik
plasenta keluar perlahan-lahan melalui pembukaan ostium
d.
Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan pemantauan
yang diperlukan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan
sedatif, analgetika atau anestesi umum misal: mual, muntah, hipo/atonia uteri,
pusing/vertigo, halusinasi, mengantuk
3.Plasenta
akreta
a. Tanda penting untuk diagnosis pada
pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik.
Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang
dalam
b. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas
kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke
rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif
Bagan II.3. Penilaian Klinik Plasenta
Akreta
4.Sisa
Plasenta
a. Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan
dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada
kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar
pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah
beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus
b.
Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g
oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg
oral
c.
Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan
evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
d. Bila
kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8
g/dL, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari
LASERASI JALAN LAHIR
A. Klasifikasi
1.
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam:
a.
Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum
b. Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih
dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot
diafragma urogenital
c. Tingkat III : perlukaan yang lebih luas
dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di
depan
2.
Robekan serviks
B. Faktor
Resiko
1.
Makrosomia
2.
Malpresentasi
3.
Partus presipitatus
4.
Distosia bahu
C. Penatalaksanaan2
1.Ruptura
perineum dan robekan dinding vagina
a.
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
b.
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
c.
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap
d.
Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator
e. Khusus pada ruptura perineum komplit
(hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan
bantuan busi pada rektum, sbb:
1).
Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung
robekan
2). Mulai penjahitan dari ujung robekan
dengan jahitan dan simpul submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl)
hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan
benang no. 2/0
3).Lanjutkan
penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau
kromik 2/0) secara jelujur
4). Mukosa
vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler
5). Berikan antibiotika profilaksis
(ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya
diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau
terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas
2.Robekan
serviks
a. Robekan serviks sering terjadi pada sisi
lateral karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina
isiadika tertekan oleh kepala bayi
b. Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir
lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah
kiri dan kanan dari portio
c. Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi
portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah
eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan
dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan
dapat dijahit
d.
Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus
uteri dan perdarahan pasca tindakan
e. Beri
antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
f. Bila
terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan
transfusi darah
Bagan
II.4. Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan Trumatika
KELAINAN DARAH
A. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi
dan platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini
bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada
tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting
beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini
dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi
dari sebab lain, terutama trauma3.
Abnormalitas
dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia
dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP
sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja
terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya,
walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas
sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia
familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang
menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio
plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen
meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal
seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu,
koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang
mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC
juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan,
yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini
terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta
pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
B. Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari
onset terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang
mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma
HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban
dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari
dan kelainan hemostatik.
Penanganan
DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional. Restorasi dan
penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat
esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan
koagulopati.
Konsentrat
trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan
trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu
unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 – 10.000/mm3.
Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan
telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3.
transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3,
jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan
diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan
karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari.
Plasma
segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan
fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya
kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel
penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan
laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris.
Kriopresipitat,
suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam
penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand.
Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu
pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.
IV.
Penanganan Perdarahan Secara
Farmakoterapi
Tranexamic acid digunakan untuk membantu menghentikan
kondisi perdarahan. Tranexamic acid merupakan agen antifibrinolytic. Obat ini
bekerja dengan menghalangi pemecahan bekuan darah, yang mencegah pendarahan.
Obat ini hanya tersedia dengan resep dokter.
Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan berikut:
1. Tablet
2. Sirup
Indikasi
1. Untuk membantu menghentikan perdarahan
2. Pengelolaan jangka panjang untuk angioedema herediter
Kontraindikasi
1. Gagal ginjal berat
2. Pembekuan intravaskular aktif
3. Penyakit tromboemboli
4. Gangguan penglihatan warna
5. Perdarahan subarachnoid
Dosis
Dewasa
1. Untuk pengelolaan perdarahan jangka pendek
1-1,5 g 2-4 kali/hari
2. Pengelolaan jangka panjang untuk angioedema herediter
1-1,5 g 2-3 kali/hari
Efek samping
Seiring dengan efek yang diperlukan, obat dapat menyebabkan beberapa efek samping. Meskipun kecil kemungkinan untuk mengalami efek samping pada penggunaan obat ini, namun jika terjadi efek samping mungkin akan memerlukan perawatan medis.
Segera periksa ke dokter, jika terjadi salah satu efek samping berikut ini:
1. Kulit pucat
2. Masalah pada pernapasan
3. Perdarahan atau memar yang tidak biasa
4. Kelelahan atau kelemahan
Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan berikut:
1. Tablet
2. Sirup
Indikasi
1. Untuk membantu menghentikan perdarahan
2. Pengelolaan jangka panjang untuk angioedema herediter
Kontraindikasi
1. Gagal ginjal berat
2. Pembekuan intravaskular aktif
3. Penyakit tromboemboli
4. Gangguan penglihatan warna
5. Perdarahan subarachnoid
Dosis
Dewasa
1. Untuk pengelolaan perdarahan jangka pendek
1-1,5 g 2-4 kali/hari
2. Pengelolaan jangka panjang untuk angioedema herediter
1-1,5 g 2-3 kali/hari
Efek samping
Seiring dengan efek yang diperlukan, obat dapat menyebabkan beberapa efek samping. Meskipun kecil kemungkinan untuk mengalami efek samping pada penggunaan obat ini, namun jika terjadi efek samping mungkin akan memerlukan perawatan medis.
Segera periksa ke dokter, jika terjadi salah satu efek samping berikut ini:
1. Kulit pucat
2. Masalah pada pernapasan
3. Perdarahan atau memar yang tidak biasa
4. Kelelahan atau kelemahan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Definisi
Induksi Persalinan
·
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap
ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medicinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Induksi
persalinan beda dengan akselerasi persalinan, di mana pada akselerasi
persalinan tindakan – tidakan tersebut di kerjakan pada wanita hamil yang sudah
inpartu (Wiknjosastro, hanifa, 2007: 73)
·
Induksi persalinan merupakan suatu proses untuk
memulai aktivitas uterus untuk mencapai pelahiran per vaginam (David T.Y Liu,
2002: 182)
·
Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan
janin menjelanng aterm, dalam keadaan belum terdapat tanda-tanda persalinan,
atau belum in partu, dengan kemungkinan janin dapat hidup di luar kandungan (
umur kandungan di atas 28 minggu) (dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010:
451)
Jadi, dapat di simpulkan bahwa induksi persalinan adalah
salah satu upaya stimulasi mulainya proses kelahiran ( dari tidak ada tanda –
tanda persalinan, kemudian distimulasi menjadi ada), cara ini dilakukan sebagai
upaya medis untuk mempermudah keluarnya bayi dari rahimsecara normal.
Obat-obat yang di gunakan:
1.
Tracrium
2. Pentotal
3. Suksinil
Kolin Klorida
4. Enflurane (etrane)
5. Efedrin
sulfat
Definisi Perdarahan Post
Partum
Perdarahan
post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir
pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Kondisi dalam
persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang
terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang
lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain
pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,
tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb
< 8 g/dL.
B.
Saran
Saya sebagai penulis
menyarankan kepada:
1.
Mahasiswa kebidanan
Ø
Untuk dapat
mempelajari apa saja obat-obatan farmakologi yang dapat membantu dalam
penanganan perdarahan post partum serta induksi persalinan
Ø
Untuk dapat
benar-benar mengetahui apa isi dari obat yang diberikan untuk kasus perdarahan
serta induksi persalinan, sehingga dapat mengurangi efek samping dan bekerja
secara efektif pada pasien yang diberikan obat tersebut
Ø
Untuk dapat
memberikan pengetahuan kepada masyakat mengenai perdarahan post partum dan
induksi persalinan
2.
Masyarakat (pembaca)
Ø
Untuk dapat
memperkaya pengetahuan dalam mengkonsumsi obat , sehingga dapat menurunkan
angka kematian dan kesakitan akibat penyalahgunaan obat
Ø
Untuk lebih
berhati-hati dalam pengonsumsian obat jenis apapun terutama obat keras.
Daftar Pustaka
Katzung, B. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:
Salemba Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar